Mengajar Peserta didik Prespektif Islam
Pendidikan
merupakan suatu sarana dalam pembentukan karakter, akhlak dan keperibadian
masyarakat. Dalam hal ini, seorang pendidik memiliki andil yang cukup besar
dalam pembentukan tersebut. Seorang pendidik (dalam hal ini seorang guru)
hendaknya memiliki sifat-sifat yang sebagaimana mestinya, sehingga dapat
memberikan contoh yang baik terhadap peserta didiknya. Dalam
memberikan pendidikan atau pengajaran terhadap peserta didik hendaknya perlu
kiat-kiat yang dapat memudahkan peserta didik. Yakni dengan tidak mempersulit,
dengan lemah lembut, maupun secara kontinu dalam memberikan pengajaran. Berikut merupakan kiat-kiat mengajar peserta didik dalam prespektif Islam
A.
Mempermudah Peserta didik
Peserta
didik merupakan sebuah subjek dalam pelaksanaan pendidikan. Seorang peserta
didik, selaku pribadi yang memiliki ciri khas. Sebagai seorang pendidik,
hendaknya senantiasa memahami ciri-ciri dari masing-masing pesserta didik
sehingga terciptanya pembelajaran yang interaktif dan edukatif. Seorang
pendidik hendaknya mempermudah seorang peserta didik dalam menerima pelajaran.[1]
Rasulullah Saw bersabda dalam Hadist Musnad Ahmad no.
2425 :
حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلِّمُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ وَإِذَا
غَضِبْتَ فَاسْكُتْ وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami
Abdurrazzaq berkata; telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Laits dari
Thawus dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: “Hendaklah kalian Mengajar,
mempermudah dan jangan mempersulit. Bila engkau marah maka diamlah. Dan Bila
engkau marah maka diamlah. Bila engkau marah maka diamlah.””
Hadis di atas
menjelaskan bahwa seorang pendidik diperintahkan untuk mengajar, memberikan
pengajaran kepada peserta didik dengan mempermudah peserta didik, bukan
mempersulitnya. Dijelaskan pula, hendaknya apabila sedang marah untuk menahan
amarah kita. Perkataan tersebut diulang sebanyak tiga kali untuk menegaskan hal
tersebut.
Rasululah Saw berdsabda dalam HR. Bukhari No. 5660 :
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ سَمِعْتُ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
Artinya : “Berilah mereka kabar gembira dan jangan menakut-nakuti, mudahkanlah
urusan mereka dan jangan kamu persulit.”
Metode
pendidikan yang digunakan oleh pendidik pada dasarnya adalah menggunakan suatu
cara yang memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk menghayati dan
mengamalkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sekaligus mengidentifikasi
dirinya dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu pengetahuan dan
keterampilan tersebut sehingga metode yang digunakan haruslah mampu membuat
peserta didik untuk merasa mudah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan
itu. Inilah barangkali yang perlu dipahami oleh seorang pendidik. Pendidik
tidak harus menggunakan metode yang muluk-muluk sementara materi yang
disampaikan tidak mampu diserap oleh peserta didik. Bagaimana peserta didik
akan mengaktualisasikan nilai-nilai materi tersebut, sementara materinya itu
sendiri belum dapat dipahami dan dikuasai oleh peserta didik.[2]
Rasulullah Saw
bersabda sebagai berikut :
اِنِّ
الله َلَمْ يَبْعَثْنِيْ مُعَنَتِّاً وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًا
مُيَسِّرًا رواه مسلم
Artinya
: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan
(hamba-Nya) dan orang yang mencari-cari kesalahan. Akan tetapi, Dia mengutusku
sebagai seorang guru yang memberi kemudahan” (H.R Muslim)
Di dalam hadis tersebut terdapat perkara yang terkandung di dalamnya berupa
memudahkan dalam segala urusan, meninggalkan sesuatu yang memberatkan.
Teladan penting yang perlu kita teladani dari seorang pendidik dalam sirah
Nabi kita yang mulia adalah tidak pernah memberatkan murid. Sebaliknya, beliau
selalu memberikan kemudahan kepada mereka.
B.
Mendidik
dengan Lemah Lembut
Ar-Rifq
adalah sifat lemah lembut didalam berkata dan bertindak. Sudah sepantasnya bagi
setiap muslim untuk berhias diri dengan sifat yang sangat mulia tersebut,
karena lemah lembut merupakan bagian dari sifat-sifat yang dicintai oleh Allah.
Dengannya pula sebab seseorang dapat meraih berbagai kunci kebaikan dan
keutamaan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat lemah lembut maka ia
tidak akan bisa meraih kebaikan dan keutamaan. Lemah lembut bertutur kata akan
mampu menjinakkan seseorang yang sedang berontak. Inilah pentingnya metode
lemah lembut dalam pendidikan, karena materi pelajaran yang disampaikan oleh
pendidik dapat membentuk kepribadian peserta didik.
C.
Mendidik
Secara Kontinuitas
Nabi shalallahu’alaihi wa salam dalam
sunnah-sunnahnya memberikan wasiat kepada umatnya bahwa dalam melakukan sesuatu lebih baik sedikit-sedikit akan tetapi di
lakukan secara rutin atau kontinu. Begitu juga dalam mendidik anak baiknya
dengan memberikan pengajaran yang sedikit-sedikit tapi dilakukan secara rutin.
Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa perbuatan yang paling dicintai Allah
adalah perbuatan yang di lakukan secara kontinuitas.
Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ
تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh
Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun
ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.”(H.R. Bukhari
dan Muslim)
Sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam
yang cukup singkat ini namun padat mengandung faedah yang sangat besar bahkan
menjadi prinsip penting dalam ajaran
islam, begitu juga dalam hal mendidik anak. Tidaklah harus mendidik anak
dengan banyak pengajaran tetapi hanya dilakukan dalam satu kali kesempatan dan
tidak di lakukan secara kontinuitas hasilnya akan sangat berbeda dengan
pendidikan anak yang dilakukan secara sedikit-sedikit tapi rutin. Anak harus
diajarkan kontinuitas dalam beribadah sejak dini, seperti tata cara bersuci,
sholat, dan puasa. Karena pemenuhan hak Allah, tidak hanya terbatas pada
‘aqidah saja, tetapi juga mencakup ‘ubudiyyah. Dan untuk menjalankan rutinitas
ini, orang tua akan menjadi contoh bagi anak-anaknya. Oleh karena itu hendaknya
orang tua memperhatikan kontinuitas dalam mendidik anak, dengan demikian
pendidikan agama anak harus dilakukan seacara rutin, agar kelak ketika anak
dewasa, dia tidak akan mudah lupa dan menjadi seorag yang paham terhadap
agamanya sendiri
Dalam
hadits lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ
لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا
دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
“Wahai
sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena
Allah tidak akan bosan sampai kalian merasa bosan. (ketauhilah bahwa amalan
yang paling di cintai Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit)”
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang
dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam
melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan.
Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin
dilakukan walaupun itu sedikit.” Begitu juga dalam mendidik anak harus secara
kontinuitas agar pendidikan atau pelajaran dapat mudah di serap oleh anak dan
tidak mudah untuk di lupakan
Tanamkan dalam diri anak bahwa amalan
yang sedikit tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk
beramal). Jika anak beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas
dan jenuh. Sebaliknya si anak beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka
rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada.
Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun
jumlahnya sedikit. Kadang anak memang mengalami masa semangat dan kadang pula
futur (malas) beramal. Sehingga agar anak terus menerus ada pada masa-masa
tersebut, maka orang tua lah yang harus bisa memberi contoh kepada anak agar beramal yang rutin walaupun itu sedikit.
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda :
وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ
شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى
، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ
“Setiap
amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada
masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah
(petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk.
Namun barang siapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah
menyimpang”
[2] Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran
Agama Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), hlm. 66.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment